Legenda Alas Sinang Bagian 10: Kronologis Asal-Usul Cempaka Mulia
Timeline Kronologis Asal-Usul Cempaka Mulia
Awal Abad
ke-15 (1400–1450 M)
Pada masa ini, kawasan Hutan Sinang
masih berupa hutan lebat yang nyaris tak tersentuh manusia. Pepohonan menjulang
tinggi, sungai-sungai kecil berliku, dan satwa liar seperti harimau, rusa,
serta burung eksotis menjadi penghuninya. Belum ada tanda-tanda pemukiman
permanen. Kawasan ini hanya dikenal oleh para pemburu dan peladang yang
sesekali masuk untuk mengambil hasil hutan.
Pertengahan
Abad ke-15 (1450–1470 M)
Gelombang migrasi mulai datang. Para peladang membuka huma, para pemburu
menetap di tepi hutan, dan kelompok pelarian politik mencari tempat aman
setelah konflik kerajaan. Di sinilah muncul cikal-bakal komunitas baru. Legenda
setempat menyebut bahwa di sebuah lahan terbuka tumbuh pohon cempaka putih besar yang dianggap keramat. Pohon
itu menjadi tempat sumpah setia bagi kelompok baru ini untuk hidup damai dan
bergotong royong. Dari sinilah nama Cempaka
Mulia lahir, sebagai simbol kesucian dan harapan kemuliaan.
1479 M
Catatan sejarah memberikan petunjuk lebih jelas. Dalam naskah Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari, disebutkan bahwa Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang)
mendirikan Cirebon sebagai pusat pemerintahan Islam baru setelah keluar dari
Pajajaran. Dalam teks itu, ada keterangan tentang pembukaan lahan di sebelah
timur hutan Sinang, yang kemungkinan besar merujuk pada kawasan yang kelak
menjadi Cempaka Mulia. Pemukiman ini awalnya berfungsi sebagai penyangga
wilayah dan tempat bagi para pendatang baru.
Akhir
Abad ke-15 (1480–1500 M)
Komunitas Cempaka Mulia berkembang menjadi pedukuhan kecil. Coraknya bercampur
antara agraris (sawah dan huma)
serta ekonomi hutan (kayu, madu,
dan buruan). Pada masa inilah bahasa pergaulan mereka mulai membentuk dialek
khas, yaitu Indramayu reang,
hasil percampuran antara bahasa Sunda pedalaman dan bahasa Jawa pesisir. Dialek
ini menjadi salah satu penanda identitas awal masyarakat Cempaka Mulia.
Abad
ke-16 (1500–1600 M)
Wilayah Indramayu, termasuk Cempaka Mulia, resmi masuk ke dalam kekuasaan Kesultanan Cirebon. Arus Islamisasi
semakin kuat, tidak hanya melalui ulama, tetapi juga melalui pedagang yang
menjadikan kawasan ini sebagai simpul kecil dalam jalur tukar-menukar barang:
garam dan ikan dari pesisir ditukar dengan hasil hutan dari pedalaman.
Pedukuhan Cempaka Mulia pun dikenal sebagai simpul ekonomi lokal, meski skalanya masih sederhana.
Abad
ke-17 (1600–1700 M)
Kehadiran kolonial Belanda melalui VOC
membawa catatan baru. Arsip VOC menyebut adanya beberapa pemukiman kecil di
pedalaman Indramayu yang menjadi sumber kayu keras dan tenaga kerja. Walaupun
tidak disebut secara langsung, banyak peneliti menduga bahwa salah satu yang
dimaksud adalah kawasan sekitar Cempaka
Mulia. Hal ini memperlihatkan bahwa pedukuhan ini tidak lagi hanya
legenda, tetapi juga tercatat dalam sejarah kolonial.
Tradisi
Lisan Modern (abad ke-20)
Pada abad ke-20, kisah asal-usul Cempaka Mulia tetap hidup melalui tradisi lisan yang diwariskan para
sesepuh. Cerita tentang pohon cempaka putih, sumpah setia leluhur, serta
kedatangan pelarian dari Majapahit atau Pajajaran terus dikisahkan ulang.
Cerita ini menjadi bagian penting dari identitas masyarakat setempat,
menggabungkan legenda dengan sejarah, mitos dengan fakta, sehingga membentuk
ingatan kolektif masyarakat Indramayu hingga hari ini.
Kontributor
Akang Marta
Indramayutradisi.com