Ads

Bagian 35. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Alas Sinang dan Warisan Kutukan



Setelah malam pertempuran yang menegangkan, hutan Alas Sinang kembali sunyi, namun ketenangan itu bukanlah damai. Suasana dipenuhi aroma darah yang kering dan tanah basah yang masih menyimpan jejak pengorbanan. Pasukan Cirebon yang tersisa, yang sempat berani menghadapi murka Ki Dusta, kini melarikan diri dalam ketakutan yang mencekam. Setiap langkah mereka tergesa, tanah seolah menjerat kaki, dan kabut tipis mengikuti setiap jejak, membuat malam semakin kelam dan mencekam.

Tumenggung Wirasaba, yang masih selamat, kembali ke keraton dengan wajah muram. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya dipenuhi bayangan kengerian yang ia saksikan. Ia tahu, perang ini bukan sekadar soal pedang dan tombak, melainkan tentang kekuatan yang jauh melampaui manusia biasa. Setibanya di istana, ia melaporkan kegagalan pasukan, suaranya masih gemetar oleh trauma. Namun di balik laporannya, ia menyampaikan peringatan yang serius: Alas Sinang bukanlah wilayah biasa. Hutan itu telah berubah menjadi tanah kutukan, dijaga oleh roh-roh dan energi yang lahir dari pengorbanan dan cinta yang tidak tergoyahkan.

Cakrabhuana, penguasa yang bijak namun penuh wibawa, hanya mengangguk lirih ketika mendengar laporan Tumenggung Wirasaba. Matanya memandang jauh ke arah hutan yang gelap, seolah bisa merasakan aura gaib yang masih bersemayam di setiap pohon dan sungai. Suaranya tenang, namun penuh wibawa:
“Biarkan Alas Sinang dengan rahasianya. Jangan ganggu lagi.”

Kata-kata itu menjadi keputusan bijak. Tidak seorang pun dari keraton yang berani memasuki hutan itu lagi, menyadari bahwa yang menunggu di dalamnya bukan sekadar musuh atau jebakan manusia, melainkan kutukan yang hidup dan sakral. Legenda tentang Ki Dusta, Dyahrengganis, Suta Pradana, dan murid-murid yang gugur menjadi kisah yang diceritakan secara lirih dan penuh hormat.

Sementara itu, warga pedukuhan yang selamat dari pertempuran dan kekacauan memilih meninggalkan wilayah itu. Mereka berpencar ke desa-desa sekitar, membawa kisah duka dan misteri yang tak akan pernah dilupakan. Setiap cerita yang mereka bawa penuh dengan ratapan, keberanian, dan peringatan agar generasi berikutnya menghormati hutan dan roh-roh yang menjaga tanah itu. Kisah mereka mengajarkan bahwa kesetiaan, pengorbanan, dan cinta bisa menghasilkan kekuatan yang melampaui dunia manusia.

Pedukuhan Cempaka Mulia, yang dulunya ramai oleh suara tawa anak-anak dan aktivitas warga, akhirnya hilang dari peta. Hutan Alas Sinang perlahan menelan setiap bangunan, jalan setapak, dan sisa peradaban yang ada. Pohon-pohon yang tinggi tumbuh kembali, akar-akar merambat, dan sungai yang jernih tetap mengalir, menyembunyikan rahasia yang tak boleh diganggu. Alam menutup wilayah itu dengan selubung mistis, sehingga siapa pun yang mencoba menembusnya akan merasakan hawa yang aneh, tanah yang menjerat, dan bisikan lembut yang menakutkan.

Orang-orang yang mendengar cerita tentang Alas Sinang percaya bahwa kutukan itu bukan hanya sekadar legenda. Energi yang lahir dari pengorbanan Ki Dusta dan murid-muridnya masih hidup, mengawasi setiap langkah, menjaga keseimbangan hutan, sungai, dan tanahnya. Sungai yang dulu menjadi saksi perpisahan Dyahrengganis dan Suta Pradana tetap jernih, namun dipenuhi aura gaib yang tak terlihat oleh mata manusia biasa. Setiap riak air, setiap daun yang jatuh, dan setiap hembusan angin di dalam hutan itu bagaikan bisikan roh-roh yang menjaga rahasia Alas Sinang.

Sejak itu, pedukuhan-pedukuhan di sekitarnya menjadi saksi hidup dari legenda yang menakutkan sekaligus mengagumkan. Anak-anak diajarkan untuk menghormati hutan, dan orang dewasa memahami bahwa wilayah itu suci dan berbahaya. Mereka percaya bahwa siapa pun yang mencoba mengeksploitasi atau merusak hutan akan menghadapi murka roh-roh yang hidup di dalamnya. Kutukan yang diwariskan oleh Ki Dusta bukan sekadar ancaman, tetapi pelajaran abadi tentang kesetiaan, cinta, dan keberanian.

Legenda Alas Sinang, dengan segala kisah tentang pertempuran, pengkhianatan, dan pengorbanan, tetap hidup dalam setiap bisikan angin malam, setiap riak sungai, dan setiap dedaunan yang gugur. Ki Dusta dianggap sebagai roh penjaga yang abadi, Dyahrengganis dan Suta Pradana menjadi simbol cinta yang tak terpisahkan, dan murid-muridnya menjadi energi yang menjaga keseimbangan hutan.

Alas Sinang kini bukan sekadar hutan biasa. Ia adalah tanah yang hidup, dipenuhi dengan energi yang lahir dari pengorbanan dan cinta. Warga desa yang berani menghormati hutan akan merasakan ketenangan dan perlindungan, sementara mereka yang datang dengan niat buruk akan menghadapi akar-akar yang hidup, kabut yang menyesatkan, dan bisikan yang menakutkan.

Dengan demikian, warisan kutukan Alas Sinang tetap terjaga hingga generasi kini. Kisahnya mengajarkan manusia tentang batas antara keberanian dan keserakahan, tentang cinta yang mampu menentang takdir, dan tentang pengorbanan yang mampu mengubah alam menjadi penjaga abadi. Dari mulut ke mulut, cerita ini tetap diceritakan, menjadi bagian dari folklore Nusantara, menegaskan bahwa Alas Sinang bukan sekadar hutan, tetapi rumah bagi roh-roh yang menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia gaib.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel