Ads

Bagian 8. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Bagian II: Konflik dengan Cirebon dan Kisah Cinta Dyahrengganis

Kedatangan Utusan dari Cirebon



Pada suatu siang yang terik, debu berterbangan di jalan tanah menuju Cempaka Mulia. Dari kejauhan terdengar derap kuda, semakin lama semakin jelas. Rakyat yang sedang bekerja di sawah berhenti, menatap rombongan prajurit yang datang dengan panji besar bergambar bulan sabit. Di barisan depan, seorang tumenggung Cirebon bernama Ki Wirasaba memimpin dengan sorban putih dan tombak berhias kain merah.

Bagi rakyat Cempaka Mulia, kedatangan ini bukan kunjungan biasa. Mereka tahu, Cirebon sedang tumbuh menjadi kekuatan besar di pesisir, dipimpin oleh Sunan Gunung Jati yang bukan hanya seorang pemimpin politik, tetapi juga seorang wali. Maka wajar bila jantung mereka berdebar menyaksikan barisan itu mendekat.

Ki Dusta, dengan wibawa seorang guru dan pemimpin, menyambut tamu-tamu agung itu di pendopo kayu. Senyumnya ramah, namun matanya penuh waspada. Rakyat duduk mengelilingi pendopo, menyimak pertemuan yang kelak menjadi titik balik sejarah pedukuhan mereka.

Ki Wirasaba mengangkat tangan memberi salam, lalu menyampaikan maksud kedatangannya:

Wirasaba: “Kakang Dusta, kami datang atas perintah Sunan Gunung Jati. Beliau mendengar kepemimpinanmu arif dan disegani. Maka kami mengajak kakang beserta rakyatmu masuk Islam, agar bersama membangun negeri di bawah panji Cirebon. Dengan begitu, keselamatan dan persaudaraan akan terjaga.”

Ki Dusta menundukkan kepala sejenak, lalu menjawab tenang:

Ki Dusta: “Aku menghormati Sunan Gunung Jati, seorang wali agung yang namanya harum hingga jauh. Aku pun melihat kebaikan dalam ajaran Islam, sebagaimana dibawa para pedagang di pasar. Namun, rakyatku sudah punya adat dan keyakinan. Kesanghyangan bukan sekadar kepercayaan, melainkan darah dan napas kami. Tak mudah mencabut akar yang sudah tumbuh sejak leluhur.”

Suasana pendopo menjadi hening. Angin sore berhembus, membawa bau kemenyan dari rumah-rumah yang baru selesai menggelar selamatan. Rakyat menahan napas, menunggu reaksi dari utusan Cirebon.

Dalam kisah lisan yang dituturkan para juru kunci makam tua, disebutkan bahwa Ki Wirasaba merasa kecewa mendengar jawaban itu. Namun ia bukan orang yang gegabah. Sebagai utusan Sunan Gunung Jati, ia lebih dulu menempuh jalan damai. Ia lalu mengeluarkan hadiah: selembar kain batik megamendung—simbol kebesaran Cirebon—dan sebuah kitab kecil berisi ajaran dasar Islam.

Wirasaba: “Kakang, terimalah ini tanda kasih Sultan. Bukan paksaan, melainkan undangan. Semoga kelak hati rakyatmu terbuka menerima cahaya Islam.”

Ki Dusta menerima pemberian itu dengan hormat, lalu meletakkannya di meja pendopo. Ia berterima kasih, tetapi kembali menegaskan:

Ki Dusta: “Hadiah ini akan kusimpan, karena aku menghargai persahabatan. Namun, Cempaka Mulia tetap berjalan di jalan leluhur. Kami berdiri di bawah naungan kesanghyangan, sebagaimana sejak awal tanah ini dibuka.”

Dialog itu kemudian menjadi bagian dari Carita Indramayu versi lisan yang kerap diceritakan di desa-desa pesisir. Orang-orang tua menggambarkan wajah Ki Wirasaba yang murung saat meninggalkan pendopo, kecewa karena ajakan dakwah dan politiknya ditolak.

Sejak hari itu, hubungan antara Cirebon dan Cempaka Mulia membeku. Tidak ada lagi kunjungan, tidak ada lagi kabar. Namun, bisik-bisik di kalangan rakyat mengatakan bahwa ini hanyalah awal dari badai besar. Karena dalam sejarah, penolakan jarang dibiarkan begitu saja.

Dan demikianlah, kedatangan utusan dari Cirebon bukan sekadar kunjungan tamu, tetapi awal dari persinggungan dua jalan: jalan Islam yang datang dengan panji kebesaran, dan jalan kesanghyangan yang berakar pada tanah leluhur.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel